Orangutan memang sudah menjadi hewan yang dilestarikan karena sebagian punah akibat kekejaman manusia terhadap hewan tersebut. Setelah beberapa spesies orangutan ini dilindungi kini mendapat kabar gembiranya, awal bulan November, peneliti mengumumkan penemuan spesies baru orangutan di Sumatra Utara, yaitu Orangutan Tapanuli. Namun, kabar buruknya, habitat mereka di perbukitan Batang Toru kini terancam oleh pembangunan industri dan pertanian. Satu jenis orangutan baru dengan nama ilmiah Pongo tapanuliensis atau orangutan tapanuli dinobatkan sebagai spesies orangutan ketiga setelah Pongo pygmaeus (orangutan kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan sumatera). Orangutan Tapanuli menjadi tambahan spesies baru di kelompok kera raksasa dalam kurun waktu satu abad terakhir.
Profesor bioantropologi di Australia National University yang juga salah satu peneliti, Anton Cahyono, menuturkan penemuan ini diawali penelitian populasi orangutan Sumatera pada habitat terisolasi yaitu Ekosistem Batang Toru, Tapanuli. Penelitian kemudian dilanjutkan untuk meneliti ekologi, genetik dan populasi. "Baru awal tahun in setelah kawan-kawan melihat secara genetik mereka berbeda dengan orang utan dari Sumatra sendiri dan Kalimantan, mereka mencoba ingin tahu apakah secara morfologi juga berbeda. Baru kemudian pada awal bulan ini secara saintifik, secara ilmiah spesies baru ini dipublikasikan," ujar Anton kepada BBC Indonesia.
Dalam penelitian tersebut, Anton meneliti dimensi tubuh mereka atau morfologi dari orangutan Tapanuli dengan membandingkannya dengan tengkorak dari saudaranya di Sumatra dan Kalimantan.
"Setelah kita bandingkan, mayoritas dari karakter yang dia miliki itu lebih kecil dibandingkan dibandingkan orangutan yang berasal dari Kalimantan maupun yang dari Sumatra. Kita cukup confident bahwa ini berbeda," kata dia. "Apalagi gigi taring atasnya, yang dari Tapanuli cukup unik karena dia sementara yang paling besar dibandingkan gigi taring dari orangutan yang dari Kalimantan dan juga dari daerah Aceh dan sebelah barat Sumatra Utara," imbuhnya kemudian.
Perbedaan fisik antara Orangutan Tapanuli dan kedua jenis yang lain:
- Tengkorak dan tulang rahang Orangutan Tapanuli lebih halus daripada Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan
- Bulunya lebih tebal dan keriting
- Orangutan Tapanuli jantan memiliki kumis dan jenggot yang menonjol dengan bantalan pipi berbentuk datar yang dipenuhi oleh rambut halus berwarna pirang
- Mereka berbeda dengan fosil orangutan (berasal dari jaman Pleistosen akhir) berdasarkan ukuran gigi geraham
- Panggilan jarak jauh (long call) jantan dewasa Orangutan Tapanuli berbeda dengan panggilan dari kedua jenis orangutan lain
- Orangutan Tapanuli memakan jenis tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan, termasuk biji Aturmangan (Casuarinaceae), buah Sampinur Tali/Bunga (Podocarpaceae) dan Agatis (Araucariaceae).
Selain itu, warna bulu orangutan Tapanuli berwarna kayu manis, berbeda dengan warna bulu orangutan Kalimantan yang coklat gelap dan Sumatra yang berwarna coklat kemerahan.
"Dan juga kita perhatikan misalnya rambut di sekitar mulut dia seperti janggut dan kumis serta bulu-bulu di sekitar bantalan pipi seperti variasi di antara kalimantan dan Sumatra. Dan dari perilaku bersuara, ketika jantan ini bersuara, durasinya lebih panjang dan juga intonasinya atau frekuensinya berbeda dari dua spesies yang ada."
Yang lebih mengkhawatirkan, imbuhnya, lantaran populasinya yang sedikit, hanya 800 ekor, betina yang aktif bereproduksi sangat sedikit. "Mungkin hanya 1-2 individu yang kita lihat dia punya anak di situ. "Belum lagi, betina orangutan biasanya bereproduksi tiap 8-9 tahun sekali. Dengan menggabungkan sumber bukti genetika, morfologi, ekologi dan perilaku, para peneliti dengan percaya diri menyimpulkan bahwa populasi orangutan Batang Toru adalah spesies yang baru ditemukan, yang masa depannya sudah berada dalam ancaman.
Saat ini, populasinya yang tidak sampai 800 ekor membuat spesies ini termasuk dalam kategori hampir punah. Di sisi lain, mereka juga terhimpit oleh habitat yang semakin berkurang. Hal ini ditegaskan oleh Rianti. "Bisa dibilang mengkhawatirkan karena memang ada rencana untuk pembuatan DAM untuk pembangkit tenaga air oleh pihak swasta. Ada rencana satu lokasi di habitat orangutan yang kebetulan di habitat itu adalah yang paling padat untuk orangutan Tapanulinya, tapi mereka punya rencana untuk membuka pembangkit tenaga air itu". Pengembangan pembangkit listrik tenaga air ini dinilai dapat berdampak mengurangi habitat mereka yang tersisa hingga 8%. Mereka terkonsentrasi di fragmen hutan kecil dengan luas sekitar 1.000 kilometer persegi di kabupaten Tapanuli Tengah, Utara, dan Selatan.
Dari habitatnya sendiri, tersisa tidak lebih dari 10 kilometer persegi. Pengembangan di masa depan telah direncanakan untuk area tersebut, dan sekitar 15% habitat orang utan memiliki status hutan yang tidak dilindungi. Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Ratri Kusumahartono, menegaskan hal ini layak menjadi perhatian lantaran sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis laporan yang menunjukkan jumlah orangutan di Sumatra dan Kalimantan itu terus menurun dalam periode satu dekade ini.
Laporan itu menyebutkan populasi orangutan menyusut dari survei sebelumnya yang dilakukan tahun 2004. Adapun kerusakan habitat adalah salah satu penyebab utama.
Jumlah orangutan ditaksir kini sebanyak 0,13 hingga 0,47 individu per kilometer persegi, menurun dari 0,45 hingga 0,76 individu per kilometer persegi. "Jadi sebetulnya memang cukup mengkhawatirkan karena habitat populasi orangutan itu jadi salah satu indikator kualitas ekosistem di Indonesia, terutama kondisi hutan dan selalu ada hubungannya antara deforestasi atau berkuranganya jumlah area hutan, dengan populasi orangutaan karena memang habitat mereka di situ."
"Harapannya pemerintah dengan mengetahui jumlah orangutan di sana menurun apalagi di sana tinggal 800 jumlah populasi Orangutan Tapanulinya, seharusnya ada batasan terhadap aktivitas dari industri yang mengancam tadi."Berdasar pada hasil Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) Orangutan tahun 2016, saat ini diperkirakan terdapat 71.820 individu orangutan di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah, dan Serawak), pada habitat seluas 17,46 juta hektare. Populasi tersebut tersebar ke dalam 52 peta populasi (kelompok terpisah/kantong populasi), dan 38% di antaranya diprediksi akan lestari (viable) dalam 100-150 tahun ke depan.